Aku membaca teks pesan masuk berkali-kali di panel notifikasi
handphoneku. Secepat itu? Apakah pesan ini salah ketik?. Aku masih tak pecaya,
rasanya baru kemarin, rasanya baru kemarin kami pergi bersama mencari buku,
rasanya baru kemarin kita bertemu dan bergurau.
Ya, teman seperjuanganku telah berpulang kepangkuan Sang Khalik.
Dia teman yang kukenal sejak tiga tahun lalu. Teman satu kelas sejak awal masa
perkuliahan.
Pagi hari ini kami diguyur sedikit gerimis dan yang tersisa
adalah genangan air di sepanjang jalan. Kami berangkat menuju rumah duka dengan
harapan bisa melihat wajah teman kami yang terakhir kali.
Hatiku terasa pilu….
“kawan, kau tak pernah bercerita tentang rumahmu, kita
tak pernah berkunjung ke rumahmu sekalipun..tapi kenapa…kunjungan yang pertama
ini justru menjadi kunjungan yang terakhir pula?”
“kawan, engkau sungguh baik, mempertemukan kami yang lama
tak berjumpa dirumahmu”
“kawan, sepertinya tugasmu sudah selesai di bumi ini,
saatnya kau pulang jangan lupa titipkan salam kami pada sang Pencipta”
Langit tak begitu cerah namun tak juga menurunkan hujan. Sepertinya
langit tahu hajat kami berjalan dari rumah hendak kemana.
Kami berjalan menyusuri tangga, satu persatu menapakan kaki
ke anak tangga secara perlahan. Tampak orang-orang sudah berkumpul, menyalami
seorang wanita paruh baya yang terlihat sembab matanya. Wanita itu tampak sudah
lelah, sudah berpasrah.
Ingatanku memutar kembali klise-klise yang pernah terjadi lima
tahun lalu. Hari dimana langit terasa runtuh. Hari dimana suasana rumah begitu ramai,
silih berganti orang-orang berdatangan. Kami seperti sedang merayakan hari besar,
ya… hari besar yang tak pernah terlupakan. Tak sedikit yang menghampiri
kemudian bersalaman dan memelukku sembari berkata bahwa aku harus kuat dan aku
harus sabar. Tak ada kalimat Panjang yang bisa ku ucapkan untuk membalas semua harapan
mereka, hanya tangis dan anggukan saja yang kuberikan.
Mungkin hal yang sama yang bisa wanita itu berikan kepada
kami dan kami pun hanya bisa berkata hal yang sama pula. Kami menyalami beliau
yang sedang berusaha tegar dengan ujian ini.
Waktu pemakaman telah tiba. Aku berjalan mendekat menuju liang
lahat. Sejak awal kabar tak membahagiakan ini tersiar, sempat beberapa kali air
mengurai air mataku, hingga kini ia hendak dimakamkan aku masih terus menghujani
kelopak mataku ini.
Sebenarnya seluruh tangisku bukan hanya menangisi engkau
temanku, aku menangisi nasibku sendiri.
Jika Tuhan memanggilmu tanpa harus menunggu dirimu menua,
lalu bagaimana aku? Aku bahkan baru selangkah berjalan menuju kebaikan,
selangkah bertaubat atas segala dosa dosaku, lalu bagaimana jikalau Tuhan juga
memanggilku setelah mu?
Selama ini aku takut jikalau harus melihat film hantu,
lalu bagaimana saat nanti kau kirimkan malaikat pencabut nyawamu kepadaku?
Selama ini aku selalu merengek jika jariku terluka, lalu
bagaimana saat nanti Kau tarik rohku dari jasadku ini? Orang selalu berkata
terasa sakit seperti dikuliti, tertusuk saja aku menjerit.
Selama ini aku selalu takut terhadap binatang tanah, lalu
bagaimana saat nanti tubuhku mulai dirayapi mereka?
Selama ini aku selalu merawat diriku, membersihkan tubuhku,
lalu bagaimana saat nanti tubuhku mulai dihinggapi binatang tanah? Yang kemudian
perlahan membusuk dan memburuk
Selama ini aku selalu menutup hidungku saat bau tak sedap
lewat dihadapanku, lalu bagaimana jika tubuhku sendiri yang mengeluarkan bau
itu?
Aku menangisi semuanya. Kemudian tersadar, bahwa yang bisa
menyelamatkanku hanyalah amal kebaikanku. Ya Allah panjangkanlah umurku,
berkahi hidupku, ampuni dosaku. Aamiin
Aku mulai berfikir bahwa mencintai diri sendiri itu penting dibanding
pekerjaan. Saat kau meninggal, pegawai lain bahkan atasanmu hanya akan bersedih
satu, dua dan seminggu saja namun keluarga selamanya. Saat kau meninggal,
atasanmu tidak akan berdiam saja, dia akan langsung mencari penggantinya tapi
tidak dengan keluargamu.
So, let’s love ourselves!
No comments:
Post a Comment