Sunday, April 18, 2021

Getting stuck at 25, haven’t married yet : Alasan Ketiga

 

Perlu difikirkan (keturunan). . . . .

Aku tau, bahwa rezeki itu Allah yang datangkan. Bahwa semua makhluk hidup punya rezekinya masing-masing dan bahwa rezeki hanya akan berhenti saat satu makhluk itu meninggal saja.

Aku paham betul betapa banyak kalimat “menikah saja, nanti pintu rezeki akan terbuka” atau “menikah aja, rezeki mah nanti ada aja”. Tentu saja aku paham rezeki akan ada saja, tetapi selama kita mau berusaha serta berdoa kan? Ya, dan aku sedang lakukan sejak sebelum menikah sekarang ini dan tentu perjuangannya sangat luar biasa.

Aku beranggapan, menikah ya memang akan membukakan pintu rezeki tetapi bukan berarti hidup harus selalu berorientasi pada konsep menikah aja rezeki pasti dateng sendiri. Aku wanita yang sudah berusia lebih dari 20 tahun, telah banyak kejadian yang aku alami dan aku saksikan sendiri. Betapa banyak orang-orang yang sudah menikah malah mengeluh kesusahan. Mengeluh suami tak kerja, mengeluh suami malas, mengeluh cicilan a,b,c mengeluh tak punya uang untuk makan atau bercerai karna finansial. Aku tidak menyalahkan pernikahannya, tapi aku lebih menyayangkan kesiapan diri dan mental dari mereka yang demikian.

Bagiku, ketika aku sudah berfikir untuk menikah, maka aku harus sudah memikirkan bagaimana aku bisa mencintai dan menjaga serta membentuk anakku kelak sejak dalam kandungan. Ketika aku sudah berfikir untuk menikah, maka aku harus mulai sadar bahwa menikah bukan perkara saling pandang dari pagi hingga sore kemudian tidur saling berpelukan, ada suami yang harus ku urus, ada rumah dan kehormatan yang harus aku jaga, ada cost yang harus di bayarkan.

Tetapi, yang amat aku tekankan adalah persiapan untuk memiliki keturunan. Memiliki anak memanglah bukan hal yang mudah, namun bukan hal yang sulit juga, karna ada Allah yang Maha Penguasa bukan?. Serta menikah bukan lah hanya tentang, hamil, punya anak, lucu-lucu, bahagia.

Ada cost dan waktu yang harus diberikan serta kesadaran bagi si ibu apalagi si ayah. Si ibu harus menyadari bahwa perkembangan anak saat masih dalam kandungan adalah masa yang paling penting, karena masa itu dimana pembentukan otak dan sel-sel terjadi. Maka sang ibu harus sadar dan paham bahwa apa yang ia makan, maka itu pula-lah yang si calon bayi makan. Karenanya aku menyadari memberi makan si ibu asupan bergizi, bukan berarti memberikan makanan enak-enak hanya kepada ibu saja, namun kepada sang calon bayi, oleh karenanya menurutku peran suami disini amat penting. Ya suami dong, mau siapa lagi? Mertua? Ya kan yang bikin istri dan suami. Setidaknya suami harus paham, jika tidak bisa memberikan perhatian maka jangan pelit untuk menafkahi atau bahkan harus sadar dan berjuang supaya istri bisa makan 4 sehat 5 sempurna. Bagus bagus bisa makan banyak macam buah yang bervitamin, sayuran dan serat-serat lain. Itulah mengapa aku sangat anti dengan laki-laki pemalas, karena bagaimana bisa aku percaya bahwa ia dapat memperhatikan aku dan kebutuhanku jika malas saja dia pelihara?

Karenanya harapanku laki-laki harus paham apa yang dibutuhkan istrinya, dengan melihat kondisi sang istri jangan membiarkan istri menderita. Manja? Tolong ya, itu sudah tugas dan kewajiban anda sejak ijab Kabul selesai. Aku sendiri suka geleng-geleng kepala dengan laki-laki yang tidak ada inisiatifnya. Membiarkan istrinya kesusahan, membiarkan hidup keluarganya begitu-gitu saja. Ya tapi hal ini mungkin bisa dikomunikasikan.

Sebab yang aku tahu menikah bukan hanya soal ketawa ketiwi, wara wiri, tapi harus tau visi satu sama lain dan memastikan ada kah visi kita yang sama dan memastikan adakah jalan tengah bagi visi yang kurang sama dan menoleransinya?

Selain merawat anak dimasa kandungan. Yang perlu di ingat, perjuangan membesarkan anak bukan hanya dari saat dia masih dalam kandungan dan berhenti sampai si anak lahir kemudian selepas lahir mau bagaimana itu urusan belakangan, bukan, itu sangat tidak saya sekali. Bagi aku semua harus punya tujuan, urusan bagaimana menggapai rencana itu flexible saja. Membesarkan anak itu tugas jangka amat panjang. Perlu diingatkan bahwa tanggung jawab orang tua itu sampai anak menikah, selepas menikah ia sudah bukan tanggungan orang tua. Maka sebagai penanggung jawab, setidaknya sudah ada gambaran, bagaimana menerapkan pola didiknya, apa saja yang tidak boleh kita lakukan didepan anak, kita ingin anak kita seperti dan menjadi apa (kepribadiannya), dan hal-hal lain. Mulai dari pola didik ketika masih bayi, hingga sampai dia bisa bicara minimal. Baik-baik sampai dia besar dan mulai membahas rencana tabungan pendidikan.

Pusing ya? Oh iya, tidak ada hidup enak tanpa kerja keras dan perencanaan yang baik serta matang. Aku berfikiran bahwa lebih baik aku pusing-pusing berfikir perencaan di awal alias nyolong start, supaya tidak terlalu pusing di depannya. Sehingga jika ternyata keadaan malah jadi sangat mudah, itu malah menguntungkan dan kita sudah jelas memiliki arah kemana.

Contoh: susah-susah nabung buat pendidikan anak, tau-taunya dapat warisan 100m. Tau gitu ngapain nabung. Wah I think that stupid statement. Mungkin iya perkataan itu bisa terlontar karna sudah dapat warisan 100m, coba engga? Lagi pula tabungan manjadi surplus kan? Misal untuk tabungan pendidikan yang dibutuhkan untuk sampai ke perguruan tinggi adalah 2m sedangkan yang sudah terkumpul adalah 50 juta, maka ya 100m dipotong 2m pun tak masalah bukan? Malah ada surplus 50 juta. (perumpamaannya seperti itu)

 

Belajar dari terdahulu . . . . . . .

Mungkin ada beberapa kata yang bisa menjelaskan penjelasan ku di atas, ribet, menjelimet, planner banget, terlalu perfeksionis.  Ya, aku menyadari itu. Tanpa kita sadari, pola fikir, tata cara perencaan hidup itu terpengaruh pada hal-hal yang kita alami dan kita jumpai dihidup kita.

Aku… dengan pola fikirku seperti yang diatas karena pengalamanku dalam hidup. Aku mengalami pola didikan yang tidak bisa membentukku menjadi anak yang percaya diri salah satunya. Aku juga mengalami dua masalah yang sama dengan jalan yang berbeda. Masalahnya ialah saat aku menginginkan sebuah laptop baru, saat bersama alm, ayah aku saat itu aku masih duduk dibangku kelas satu SMA, laptop menjadi sebuah kebutuhan nyatanya, karena digunakan untuk mengerjakan tugas, presentasi dll. Tak butuh waktu lama kurang dari satu bulan kemudian ayah mengajakku membeli laptop. Tak hanya laptop, saat aku meminta computer-pun sama. Berbeda jauh dengan ibuku, selepas alm ayah tak ada, saat itu aku sangat butuh laptop baru karna saat itu aku sedang mengerjakan skripsi dan laptopku sudah mulai banyak kendala. Butuh perjuangan untuk meyakinkan bahwasannya aku memang sangat butuh laptop itu, terlepas dari beban keuangan yang ia miliki namun aku yakin sesungguhnya tabungan dasar jika dipotong untuk sebuah laptop standarpun bisa tertutupi dengan cepat oleh pemasukan ibu. Namun aku tidak tau apa yang ada dalam benaknya saat itu, hingga aku harus berderai air mata hanya untuk sebuah laptop. Dari pengalaman itu aku belajar, menjadi orang yang pas-pasan dan susah itu tidak menyengkan, sedih dan perih. Sehingga aku ingin anakku tidak merasakan hal demikian. Itulah contoh pengalaman yang aku alami.

Kemudian untuk pengalaman yang aku jumpai. Aku sudah mengajar puluhan anak dengan berbagai background orang tua dan background sekolah. Sangat-sangat mencolok perbedaa, anak yang hanya disekolahkan disekolah milik government dengan sekolah swasta apalagi swatsa plus maupun international. Sangat mencolok apalagi dalam kemampuan berbicara bahasa asing. Salah satu contoh murid SD ku yang bersekolah islam national plus yang berada Tangerang selatan, anaknya sangat aktif, tidak pemalu dan bahkan bagus dalam berkomunikasi dalam bahasa asing. Ketika aku tanya jam berapa biasa ia berangkat kesekolah, ia menjawab pukul 4 subuh. Wwhattt??? Really?? Aku tanya apakah ia berangkat pukul empat karena ikut bersama ayahnya ke kantor. NOPE. Karna disekolah ada program tahfidz jadi sebelum shalat subuh berjamaah, ada hafalan Qur’an. See how to build gold generation in different way?

 

Sama-sama . . . . .

Kerja sama sangat diperlukan. Laki-laki kerjasama dengan mencukupi dan mencari untuk bekal masa depan keluarganya sedangkan wanita kerjasama dengan mengelola apa yang sudah dicari dari laki-lakinya.

Sosok ayah sangat berpengaruh terahadap aku dalam mendoakan pasangan impian. Aku selalu ingat betapa ayah sangat bertanggung jawab terhadap keluarga apalagi aku anaknya. Laki-laki yang tak pernah menolak keinginanku dan selalu berusaha memenuhinya karna apa yang aku pintapun tak pernah yang hanya sekedar untuk gaya atau keren-keren-nan saja.

AKu sangat bersyukur memiliki ayah sepertinya. Bayangkan diluar sana banyak wanita bersuamikan laki-laki yang malas. Yang hanya bersantai-santai saja, yang hidupnya gitu-gitu saja, yang hidup seperti tanpa punya orientasi jelas, yang hidup seperti tanpa usaha maksimal atau bahkan usaha diluar batas kemampuannya. Laki-laki yang bergerak hanya kalau diminta saja. Yang berusaha jika diminta secara mendesak.

Betapa banyak laki-laki yang kerjaannya gitu-gitu saja. Pulang kerja, duduk sebentar, meyesapapi rokok, melamun, ngopi. Namun saat istrinya tak memberinya kopi ia marah, padahal istrinya tidak mampu membeli kopi karna uang bulanan habis. Sementara apa dia pernah bertanya perihal uang belanja?

Tapi aku masih juga mendapati laki-laki yang hampir sangat produktif, seperti ayah. Yang pulang kerja bercengkrama dengan istri dan anak. Duduk bersama menonton TV. Saling bercerita dan bercanda. Memberikan cerita-cerita yang bermoral. Sibukpun sangat bermanfaat, membaca koran, membaca buku ataupun menulis al-Quran . . . . itu ayahku

Banyak juga laki-laki yang pekerja keras. Yang bercita-cita ingin menjadikan istrinya sebagai permaisuri di rumahnya. Ingin memberikan yang terbaik untuk anak istrinya. Sesampai dirumah, ia masih melanjutkan pekerjaan yang lain demi istri dan anaknya.

Semoga aku, kamu dan kita semua mendapat pasangan yang baik dan mau berusaha ya, Aamiin.

Maaf Aku Harus Menjauh

Jika ini tentang kompetisi...... Jika ini tentang menang atau kalah...... Maka.... aku ikhlas tanpa beban aku akan mengalah Karna sekeras ap...