Source: google.com/kompasiana
“Mi,…. Maafin Aisyah
ya, aisyah gabsia kuliah tahun ini”. Kataku sembari bersujud menyentuh kaki
ibuku. Dengan berderai air mata aku luapkan semua apa yang kurasakan dalam
hatiku. “eh udah
bangun-bangun… gak apa-apa kalau emang belom rezekinya”. Sahut ibuku padaku
sembari berusaha membangunkan ku dari sujudku dikakinya. “tapi Aisyah sedih
gabisa dapat negeri kayak temen-temen”. Kataku dalam sesak dada dan air mata
yang terus berderai.
Kala
itu, pertama kalinya bagiku menangis dalam sujudku kepada ibu. Wanita yang
telah melahirkan dan merawatku dengan segenap kasih dan sayangnya. Ntah mengapa
rasanya fikiran dan dadaku penuh semua sesak semua. Seperti ada sedih
yang begitu kau tahan karena ingin terlihat tegar, namun kau tak kuat akhirnya.
Rasa itu muncul
ketika aku terpaksa terus menerus terhantam ombak kekecewaan. Kehilangan ayah
disaat aku menginjak kelas terakhir dibangku SMA, penolakan yang dilakukan
semua perkuliahan negeri lewat jalur undangan apapun. Juga penolakan lewat
jalur test, walau pada akhirnya ada satu, namun karena kekhawatiran ibu, akupun melepaskannya.
Sedih
rasanya, karena aku tau ,bahwa begitu besar harapan ayah agar aku bisa bersekolah
di sebuah sekolah pemerintahan kala itu. Sebelum beliau meninggal, beliau lah
yang paling bersemangat mengingatkanku untuk terus berlatih mengerjakan soal
ujian masuk. Beliau begitu gigih menyelipkan sedikit nasihat
tanpa rasa lelah dan bosan kepadaku. Namun sayang…. Aku tak menyadari bahwa
semangat yang beliau berikan mungkin karena beliau tau bahwa dunia mulai
menghimpit waktu hidupnya.
Tak
banyak hal yang aku ceritakan kepada temanku, bahkan teman dekatku. Bukan
karena aku mulai membenci mereka, tetapi karena, terlalu banyak yang terjadi
dengan begitu cepat, dengan begitu singkat. Tak hanya kehilangan ayahku, namun
apa yang dulu telah keluargaku miliki harus hilang juga. Aku kebingungan dengan
keadaan.
Aku
tak tau harus berbuat dan berkata apa. Dalam sepiku pernah aku mengeluh, Tuhan
mengapa aku harus mengalami ini? Mengapa harus aku? Aku iri Tuhan, aku iri
dengan teman-teman sebayaku yang bisa menikmati masa remajanya yang tak semalang diriku, aku iri dengan mereka yang bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan. Aku sudah kehilangan satu cinta sejatiku, aku sudah tak mampu membanggakan
keluargaku, lalu apalagi Tuhan? Aku menangis dalam sepiku saat itu. Menyadari
bahwa kalimat “hidup itu bagai roda” sedang aku alami saat itu.
Nyatanya Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Keping demi keping kebahagiaan yang
berhamburan kami kumpulkan. Walau luka begitu besar dan menganga, tapi aku dan
ibu berusaha untuk saling menutupi kesedihan masing-masing. Kami ingin bangkit
dengan sisa-sisa tenaga yang ada dan dengan api harapan yang mulai padam.
Aku
kemudian berusaha berdiri dari jatuhku dan Tuhan memang senang memberikan bantuan
didetik detik akhir kala keputus asaan hampir datang. Aku percaya, bahwa jika
ada orang yang perlu untuk ku pioritaskan itu bukan teman, tetapi keluarga. Keluarga
begitu berharga… saat aku terjatuh… mereka menepuk pundakku, menyadarkan ku
kemudian membangunkanku. Mereka menyemangatiku dengan segudang motivasi walau
aku tau motivasi di dapat dari diri sendiri.
Aku
melanjutkan hidupku dengan menuliskan kembali stratefi-strategiku. Aku bertekad
agar pada perang selanjutnya aku bisa menang, ya tentu kemenangan di dapat
dengan cara menyiapkan senjata dan strategi yang pas.
Hampir satu tahun aku
habiskan untuk menyiapkan perang itu. lingkungan baru, teman baru semua mulai
hadir dalam hidupku. Aku begitu bahagia di tempatkan pada lingkungan yang
memiliki satu tujuan denganku yaitu memenangkan perang. Sudah tak ada lagi
fikiranku tentang hidup tak adil saat itu karena kalimat :
"Semua memiliki jalan takdirnya masing-masing
tidak perlu kamu lihat orang lain. Belum tentu mereka yang berkuliah lebih
dahulu daripadamu itu bisa sukses betul di ujung sana nanti. Rezeki mu, temanmu
dan semuanya sudah ada yang atur".
No comments:
Post a Comment