Friday, November 15, 2019

The Sadness Makes Greatful




Hasil gambar untuk Roda"
Source: google.com/kompasiana

Enam tahun lalu…….

“Mi,…. Maafin Aisyah ya, aisyah gabsia kuliah tahun ini”. Kataku sembari bersujud menyentuh kaki ibuku. Dengan berderai air mata aku luapkan semua apa yang kurasakan dalam hatiku. “eh udah bangun-bangun… gak apa-apa kalau emang belom rezekinya”. Sahut ibuku padaku sembari berusaha membangunkan ku dari sujudku dikakinya. “tapi Aisyah sedih gabisa dapat negeri kayak temen-temen”. Kataku dalam sesak dada dan air mata yang terus berderai.


Kala itu, pertama kalinya bagiku menangis dalam sujudku kepada ibu. Wanita yang telah melahirkan dan merawatku dengan segenap kasih dan sayangnya. Ntah mengapa rasanya fikiran dan dadaku penuh semua sesak semua. Seperti ada sedih yang begitu kau tahan karena ingin terlihat tegar, namun kau tak kuat akhirnya.


Rasa itu muncul ketika aku terpaksa terus menerus terhantam ombak kekecewaan. Kehilangan ayah disaat aku menginjak kelas terakhir dibangku SMA, penolakan yang dilakukan semua perkuliahan negeri lewat jalur undangan apapun. Juga penolakan lewat jalur test, walau pada akhirnya ada satu, namun karena kekhawatiran ibu, akupun melepaskannya.

Sedih rasanya, karena aku tau ,bahwa begitu besar harapan ayah agar aku bisa bersekolah di sebuah sekolah pemerintahan kala itu. Sebelum beliau meninggal, beliau lah yang paling bersemangat mengingatkanku untuk terus berlatih mengerjakan soal ujian masuk. Beliau begitu gigih menyelipkan sedikit nasihat tanpa rasa lelah dan bosan kepadaku. Namun sayang…. Aku tak menyadari bahwa semangat yang beliau berikan mungkin karena beliau tau bahwa dunia mulai menghimpit waktu hidupnya.

Tak banyak hal yang aku ceritakan kepada temanku, bahkan teman dekatku. Bukan karena aku mulai membenci mereka, tetapi karena, terlalu banyak yang terjadi dengan begitu cepat, dengan begitu singkat. Tak hanya kehilangan ayahku, namun apa yang dulu telah keluargaku miliki harus hilang juga. Aku kebingungan dengan keadaan.

Aku tak tau harus berbuat dan berkata apa. Dalam sepiku pernah aku mengeluh, Tuhan mengapa aku harus mengalami ini? Mengapa harus aku? Aku iri Tuhan, aku iri dengan teman-teman sebayaku yang bisa menikmati masa remajanya yang tak semalang diriku, aku iri dengan mereka yang bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan. Aku sudah kehilangan satu cinta sejatiku, aku sudah tak mampu membanggakan keluargaku, lalu apalagi Tuhan? Aku menangis dalam sepiku saat itu. Menyadari bahwa kalimat “hidup itu bagai roda” sedang aku alami saat itu.

Nyatanya Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Keping demi keping kebahagiaan yang berhamburan kami kumpulkan. Walau luka begitu besar dan menganga, tapi aku dan ibu berusaha untuk saling menutupi kesedihan masing-masing. Kami ingin bangkit dengan sisa-sisa tenaga yang ada dan dengan api harapan yang mulai padam.

Aku kemudian berusaha berdiri dari jatuhku dan Tuhan memang senang memberikan bantuan didetik detik akhir kala keputus asaan hampir datang. Aku percaya, bahwa jika ada orang yang perlu untuk ku pioritaskan itu bukan teman, tetapi keluarga. Keluarga begitu berharga… saat aku terjatuh… mereka menepuk pundakku, menyadarkan ku kemudian membangunkanku. Mereka menyemangatiku dengan segudang motivasi walau aku tau motivasi di dapat dari diri sendiri.

Aku melanjutkan hidupku dengan menuliskan kembali stratefi-strategiku. Aku bertekad agar pada perang selanjutnya aku bisa menang, ya tentu kemenangan di dapat dengan cara menyiapkan senjata dan strategi yang pas.

Hampir satu tahun aku habiskan untuk menyiapkan perang itu. lingkungan baru, teman baru semua mulai hadir dalam hidupku. Aku begitu bahagia di tempatkan pada lingkungan yang memiliki satu tujuan denganku yaitu memenangkan perang. Sudah tak ada lagi fikiranku tentang hidup tak adil saat itu karena kalimat :

"Semua memiliki jalan takdirnya masing-masing tidak perlu kamu lihat orang lain. Belum tentu mereka yang berkuliah lebih dahulu daripadamu itu bisa sukses betul di ujung sana nanti. Rezeki mu, temanmu dan semuanya sudah ada yang atur".

Friday, November 8, 2019

It's time to shine



      Seperti biasa, setelah berganti pakaian aku merebahkan tubuhku di kasur. Aku mengeser-geser semua notifikasi yang ada di panel handphoneku. Seketika jariku berhenti menggeser saat ku baca sebuah pesan,”udah ga nge-blog lagi?”. Mataku terpaku pada pesan itu yang kemudian membuat aku menghela nafas membayangkan arsip-arsip yang sudah berdebu di notebookku. Sudah hampir satu tahun lamanya aku tak memposting apa-apa. Memang awalnya aku berencana untuk menulis blog apapun yang terjadi sebagai album tulisku kelak, bahan bacaan untuk masa tua ku dan anak cucuku. Tapi apa daya, sepertinya memang prioritasnya untuk tahun ini berbeda.

   Well, kali ini aku memaksakan diri untuk menulis. Mengisi kekosongan berbulan-bulan dengan arsip yang ada di notebookku ini. Sebetulnya ada banyak draf yang sudah ku susun, dan sudah hampir rampung untukku posting. Namun lagi dan lagi mereka semua ku abaikan karena satu hal yang juga adalah prioritas. Mungkin bukan aku yang memilih memprioritaskan hal itu, tapi waktu yang memaksaku untuk mempriotritaskan hal lain dan mengabaikan ini.

     Akhir tahun 2018 hingga akhir tahun 2019 ini adalah tahun-tahun yang berat bagiku. Berbagai macam masalah silih berganti. Memang semua manusia pasti mempunyai masalah, begitupun aku, mereka dan kita semua. Namun aku meyakini ada saatnya dimana sebuah masalah memang amat membuat kenyamanan dan priortas hidup berganti. Aku tidak bisa menceritakan itu di postingan kali ini, namun cepat atau lambat, aku akan menuliskan semuanya disini. Ntah itu di akhir tahun ini, atau di awal tahun baru kelak. Aku berharap hal yang aku hadapi dan alami di akhir tahun ini bisa berlalu dengan cepat dan aku bisa beristirahat secara normal sedikit.

Maaf Aku Harus Menjauh

Jika ini tentang kompetisi...... Jika ini tentang menang atau kalah...... Maka.... aku ikhlas tanpa beban aku akan mengalah Karna sekeras ap...